Ada seorang pemuda bernama A Be (bukan nama sebenarnya). Dia anak yang
cerdas, rajin dan cukup cool. Setidaknya itu pendapat wanita-wanita yang
kenal dia. Baru beberapa tahun lulus dari kuliah dan bekerja di sebuah
perusahaan swasta, dia sudah di promosikan ke posisi manager.
Gajinya pun lumayan.

Tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari kantor.
Tipe orangnya yang humoris dan gaya hidupnya yang sederhana membuat
banyak teman-teman kantor senang bergaul dengan dia, terutama dari
kalangan cewek-cewek jomblo. Bahkan putri owner perusahaan tempat ia
bekerja juga menaruh perhatian khusus pada A be.

Dirumahnya ada seorang wanita tua yang tampangnya seram sekali. Sebagian kepalanya
botak dan kulit kepala terlihat seperti borok yang baru mengering.
Rambutnya hanya tinggal sedikit dibagian kiri dan belakang. Tergerai
seadanya sebatas pundak. Mukanya juga cacat seperti luka bakar. Wanita
tua ini betul-betul seperti monster yang menakutkan. Ia jarang keluar
rumah bahkan jarang keluar dari kamarnya kalau tidak ada keperluan
penting. Wanita tua ini tidak lain adalah Ibu kandung A Be.

Walau demikian, sang Ibu selalu setia melakukan pekerjaan rutin layaknya ibu
rumah tangga lain yang sehat. Membereskan rumah, pekerjaan dapur,
cuci-mencuci (pakai mesin cuci) dan lain-lain. Juga selalu memberikan
perhatian yang besar kepada anak satu-satunya, A Be. Namun A Be adalah
seorang pemuda normal layaknya anak muda lain. Kondisi Ibunya yang
cacat menyeramkan itu membuatnya cukup sulit untuk mengakuinya. Setiap
kali ada teman atau kolega business yang bertanya siapa wanita cacat
dirumahnya, A be selalu menjawab wanita itu adalah pembantu yang ikut
Ibunya dulu sebelum meninggal. “Dia tidak punya saudara, jadi saya
tampung, kasihan,” jawab A be.

Hal ini sempat terdengar dan diketahui oleh sang Ibu. Tentu saja Ibunya sedih sekali.
Tetapi ia tetap diam dan menelan ludah pahit dalam hidupnya. Ia semakin jarang
keluar dari kamarnya, takut anaknya sulit untuk menjelaskan pertanyaan
mengenai dirinya. Hari demi hari kemurungan sang Ibu kian parah. Suatu
hari ia jatuh sakit cukup parah. Tidak kuat bangun dari ranjang. A Be
mulai kerepotan mengurusi rumah, menyapu, mengepel, cuci pakaian,
menyiapkan segala keperluan sehari-hari yang biasanya di kerjakan oleh
Ibunya. Ditambah harus menyiapkan obat-obatan buat sang Ibu sebelum dan
setelah pulang kerja (di Taiwan sulit sekali cari pembantu, kalaupun
ada mahal sekali).

Hal ini membuat A be menjadi uring-uringan dirumah. Pada saat ia mencari sesuatu dan mengacak-acak
lemari Ibunya, A Be melihat sebuah box kecil. Didalam box hanya ada
sebuah foto dan potongan koran usang. Bukan berisi perhiasan seperti
dugaan A Be. Foto berukuran postcard itu tampak seorang wanita cantik.
Potongan koran usang memberitakan tentang seorang wanita berjiwa
pahlawan yang telah menyelamatkan anaknya dari musibah kebakaran.
Dengan memeluk erat anaknya dalam dekapan, menutup dirinya dengan sprei
kasur basah menerobos api yang sudah mengepung rumah. Sang wanita
menderita luka bakar cukup serius sedang anak dalam dekapannya tidak
terluka sedikitpun.

Walau sudah usang, A be cukup dewasa untuk
mengetahui siapa wanita cantik di dalam foto dan siapa wanita pahlawan
yang dimaksud dalam potongan koran itu. Dia adalah Ibu kandung A Be.
Wanita yang sekarang terbaring sakit tak berdaya. Spontan air mata A Be
menetes keluar tanpa bisa di bendung. Dengan menggenggam foto dan koran
usang tersebut, A be langsung bersujud disamping ranjang sang Ibu yang
terbaring. Sambil menahan tangis ia meminta maaf dan memohon ampun atas
dosa-dosanya selama ini. Sang Ibu-pun ikut menangis, terharu dengan
ketulusan hati anaknya. "Yang sudah-sudah Nak, Ibu sudah maafkan.
Jangan di ungkit lagi".

Setelah ibunya sembuh, A be bahkan
berani membawa Ibunya belanja kesupermarket. Walau menjadi pusat
perhatian banyak orang, A be tetap cuek bebek. Kemudian peristiwa ini
menarik perhatian kuli tinta (wartawan). Dan membawa kisah ini kedalam
media cetak dan elektronik.

0 comments:

Post a Comment