Bila Mekkah semakin megah. Maka, Madinah terlihat semakin Indah.

Memang ada perbedaan karakteristik diantara dua kota suci ini. Di Makkah kita akan merasakan semangat, semarak, perjuangan. Sesuatu yang berhubungan dengan gelora. Sementara di Madinah kita akan merasakan ketenangan dan kedamaian. Segala hal yang berhubungan dengan hening.

Dan rasa itulah yang kurasakan saat kembali menjejakkan kaki di Madinah.

Pembangunan di Madinah tak seperti Makkah yang begitu tinggi menjulang. Tetap ada, bahkan juga banyak pembangunan gedung baru menggantikan yang lama, tapi bentuk fisiknya tidak terlalu tinggi. Jadi, hasilnya adalah keindahan.

Untuk perubahan pada Masjid, perubahan yang paling terlihat adalah pelataran masjid yang kian besar. Juga payung-payung raksasa yang menghiasinya. Jumlahnya semakin banyak dibanding dulu. Jika malam, payung-payung itu kuncup menyerupai tiang-tiang tinggi yang seolah menyangga langit. Namun, jika siang hari, payung-payung mengembang yang setiap ujungnya akan menyentuh ujung payung lain. Membentang melindungi setiap jamaah dari panas terik matahari.

Sekali lagi, terlihat begitu indah….
SambutanNYA di Subuh yang Indah

Aku terus melangkah sedapat mungkin ke tempat yang paling depan. Pikiran masih berkecamuk memikirkan kenyataan bahwa aku kini berada di masjid Nabawi. Aku berhenti sekitar 10 meter dari mimbar Nabi dan melakukan sholat sunnah. Depanku sudah cukup penuh sehingga aku memang harus berhenti.

Setelah sholat sunnah, sempat terpikir untuk membaca surat Ar Rahmaan dari salah satu mushaf Quran yang ada di tiang dekatku. Fungsi tiang di masjid ini memang cukup banyak. Selain sebagai penyangga, juga menjadi saluran pendingin dan tempat penyimpanan Al Quran. Tak hanya itu, di bagian bawah tiang juga ada rak sebagai tempat penyimpanan sandal jamaah. Aku menatap Quran berwarna biru tua itu untuk sesaat, tapi aku akhirnya urungkan karena khawatir akan tumpah tangisku.

Surat tersebut memang sering membuatku menangis apabila aku baca dalam keadaan ‘ingin dekat denganNYA’, entah ketika sedang sedih entah saat bahagia. Surat tersebut seakan akan menentramkan hati. Menjawab segala keluh kesah, menjawab segala kebahagiaan. Kalimat “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” seolah mampu menjawab segala bentuk pertanyaan yang seringkali hadir dalam benak. Akhirnya aku memutuskan untuk membaca surah yang lain hingga qomat mulai bergema.

Para jamaah mulai berdiri bersiap-siap melaksanakan sholat. Termasuk juga aku. Sholat subuh pertamaku di Madinah. Bacaan Alfatihah begitu menggetarkan jiwa. Entah mengapa. Apakah aura sang imam begitu kuat terpancar ke seluruh jamaah?

Ataukah aura masjid Nabawi sendiri yang memang sudah begitu kuat karena selama berabad-abad menjadi saksi bagaimana para kekasihNYA bermunajat padaNYA?

Entahlah, yang jelas aku begitu meresapi setiap kata yang ia ucapkan. Ketika bacaan Al Fatihah selesai, sang imam kemudian melanjutkan dengan bacaan berikutnya. Dan terdengarlah sebuah surat yang begitu aku kenal..

“Ar rahmaan, alamal quran….”

Aku mengigit bibir. Surah Ar Rahmaan??

Ternyata benar, sang imam melantunkan surah yang begitu aku senangi. Surah yang mampu mengguncang diri. Bahkan untuk saat ini seperti menghujam, karena seolah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tadi selalu berkelebat di benak.

Mengapa aku bisa ada disini?

Mengapa aku bisa berada di Madinah?

Mengapa aku bisa sampai di dalam masjid Nabawi?

Mengapa aku…

Semua seakan terjawab dan ditegaskan dalam kalimat yang pada subuh itu secara berulang-ulang keluar dari mulut sang imam..

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

Mataku semakin basah seiring dengan lantunan indah tersebut

Kalimat yang mampu masuk ke dalam telinga, meresap menuju seluruh aliran darah di tubuh, merangkul benak memeluk jiwa, dan mewangi di dalam hati…

Aku merasa sedang disambut olehNYA, disambut dengan surat Ar Rahmaan. Disambut dengan kasih sayangNYA. Mendapat sambutan seperti itu, aku seolah meledak dalam galaksi kebahagiaan, menjadi tiada sekaligus begitu nyata…

***

Ya Rasul Salam Alaika

Ke Makam Nabi Muhammad SAW

Barisan panjang tampak di depan area Raudah, mengantre dengan tertib. Mereka semua hendak berziarah ke maqam Nabi Muhammad SAW. Walaupun cukup panjang, tapi ternyata tak butuh waktu lama untuk bisa berada di depan pintu maqam yang terbuat dari jeruji besi berwarna keemasan. Mengapa bisa cepat? Karena para askar yang menjaga tak akan membiarkan seseorang berhenti terlalu lama di depan maqam. Sama seperti di bukit Uhud maupun maqam Baqi, setiap ada yang menengadahkan tangan di depan maqam, askar akan segera memperingatkannya.

Agak berdebar hatiku sesaat aku semakin mendekat ke pintu maqam. Tak henti bibir ini mengucapkan salam serta shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Manusia paling mulia yang pernah ada, bahkan orang-orang non muslim mengakui kemuliaannya. Seseorang yang bisa kita jadikan tauladan dalam segala aspek kehidupan. Beliau sukses memberi contoh bagaimana menjadi pemimpin yang benar, ahli diplomasi yang benar, panglima yang benar, pedagang dan cara bisnis yang benar, ayah yang benar, suami yang benar, kerabat yang benar, anak yang benar. Segalanya! Segala peran yang juga akan bisa kita alami, beliau sukses menjalaninya.

Bahkan tak cuma peran, tapi juga cara bersikap, cara menjalani roda kehidupan. Beliau tidak hanya berteori indah belaka, tapi langsung memberi contoh melalui pengalamannya sendiri. Kita bisa mengetahui bagaimana beliau bersikap saat tertindas, bagaimana bersikap saat kemenangan ditangan. Bagaimana saat fitnah menghujam, bagaimana saat pujian merayu. Bagaimana saat batu melayang dan kotoran ditumpahkan, bagaimana saat hadiah-hadiah dipersembahkan. Bagaimana saat terusir dari kampung halamannya, bagaimana saat menguasai segalanya. Bagaimana saat perang berkecamuk, bagaimana saat damai memeluk. Bagaimana saat penghianatan terungkap, bagaimana saat penyesalan terucap. Semua beliau contohkan. Nabi Muhammad adalah guru kita, teladan kita, panutan kita, idola kita. Tak hanya manusia, jin, malaikat, bahkan alam semesta pun berlomba-lomba memuliakannya. Namun begitu mulianya beliau, sehingga justru beliau paling tidak suka saat ada orang yang berdiri untuk menyambut kedatangannya. Indah, pribadi yang indah, ahlak yang indah. Dan makam orang mulia itu kini ada di hadapanku. Subhanallah…

Aku mengintip ke balik jeruji, gelap tak ada penerangan didalam, sehingga secara samar-samar aku hanya dapat melihat pusara Nabi dan kedua sahabatnya, yaitu Umar bin Khatab dan Abu Bakar as Shidiq. Hanya sebentar, karena aliran antrean harus terus berjalan.

Allahuma shali alla Muhammad,

Ya Rabbi shali allaihi washalim


MAKAM BAQI

Selain perubahan fisik, ternyata ada juga hal lain yang berubah.

Peraturan.

Dulu, jangankan didalam, memotret dari luar masjid saja sudah akan didatangi askar. Kini, kita bisa dimana saja mengambil gambar, baik itu dengan kamera ataupun ponsel. Halaman, gerbang, dalam, raudah, makam Rasulullah, bahkan makam Baqi sekali pun. Bebas. Tapi, itu hanya berlaku untuk jamaah pria, karena entah kenapa, jamaah wanita tetap ketat penjagaannya. Setiap masuk masjid pasti semua barang bawaan akan diperiksa, bila ada kamera atau ponsel berkamera maka diminta untuk ditinggal (peraturan ini hanya berlaku di Masjid Nabawi, sementara di masjidil Haram, semua jamaah pria maupun wanita bebas keluar masuk tanpa pemeriksaan). Begitu pula makam Baqi. Dulu para jamaah hanya bisa melihat dari balik jeruji pagar pembatas, kini jamaah (lelaki) diperbolehkan masuk kedalam komplek pemakaman.

Masuk ke pemakaman Baqi?

Tentu saja ini pengalaman baru bagiku.

Dan pada hari itu kami semua dijadwalkan ziarah ke makam Baqi.

Baru saja melewati gerbang pemakaman, segera kami disambut oleh papan besi besar yang berisi pesan bagi para peziarah, sama seperti yang ada di Jabal Uhud. Aku membaca dan mengangguk-angguk mengerti. Bukan karena aku pandai berbahasa Arab, tapi karena pesan tersebut ditulis dalam beberapa bahasa, termasuk dalam bahasa Indonesia. Kalimatnya panjang, tapi intinya adalah mengingatkan agar kita semua berdoa hanya kepada Allah. Salah satunya adalah berbunyi seperti ini:

Ziarah kubur disyariatkan dengan tujuan mengingat akhirat. Nabi shallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya dahulu aku melarang kalian dari berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah kubur, karena ia akan mengingatkanmu akan akhirat”

Dilarang berdoa (memohon) kepada orang-orang yang telah mati dan memohon pertolongan kepada mereka serta meminta syafaat dan berbagi hajat, juga dilarang mengusap-usap kuburan mereka.

Ini agar kita terhindar dari musyrik. Tampaknya pihak kerajaan benar-benar menjaga adanya kemungkinan orang mengharap selain kepadaNYA. Bahkan tak hanya papan yang mengingatkan hal itu, tetapi juga para askar yang menjaga. Setiap orang menengadahkan tangan, seolah meminta berkah pada ahli kubur, askar dengan tegas akan meminta orang tersebut menurunkan tangan. Dengan bahasa arab, askar mengacungkan jari telunjuknya ke langit. Aku tidak mengerti bahasanya, tapi mendengar ada kata-kata ‘Allah’ ikut disebutkan, aku menduga bahwa ia mengingatkan agar kita hanya boleh meminta pada Allah SWT. Segala permintaan hendaknya ditujukan hanya kepadaNYA.

Makam Ustman bin Affan RA

Didalam komplek makam, aku tertegun melihat luasnya areal ini. Warna pasir yang coklat muda begitu mendominasi. Sementara tampak tumpukan-tumpukan kecil batu yang berwarna yang lebih tua. Onggokan batu-batu itulah yang menjadi nisan. Tanpa nama, tanpa dibentuk secara khusus. Burung merpati yang jumlahnya sangat banyak terlihat santai mencari makan di antara bulir-bulir pasir. Ya, hanya ada itu yang terlihat. Hamparan pasir, batu dan merpati.

Kami terus melangkah, hingga akhirnya kami berhenti disatu makam seseorang. Tak ada bangunan, tak ada nisan yang berarti. Juga tak ada gundukan tanah yang berlebihan. Cenderung rata dengan permukaan bumi. Disana terbaring jasad Khalifah Ustman bin Affan RA…

0 comments:

Post a Comment